Makan bersama merupakan kegiatan yang cukup menyenangkan selama KKN. Kalau di Jogja biasanya makan di warung makan dan membeli makanan, berbeda halnya dengan di Pulau Seliu. Selama KKN kami memasak sendiri dengan membagi kelompok dan memasak dengan jadwal-jadwal tertentu. Apa menu makan sehari-hari selama di Pulau Seliu? Karena sebagian besar warga merupakan nelayan, jadi sudah bisa ditebak, makanan yang paling mudah di temui yakni makanan olahan laut, seperti ikan, kepiting dan cumi. Tentu saja menyenangkan makan makanan laut (bagi yang suka), kalau di Jogja mungkin ikan laut harganya cukup mahal dan lebih susah di dapat di banding di Pulau Seliu. Kalau di Seliu tak jarang kami mendapat kepiting gratis, atau ikan gratis dari nelayan yang baru saja selesai melaut. Sudah irit enak lagi.
Satu
lagi teman makan yang paling penting yakni sayur. Bagaimana harga sayur di
Pulau Seliu? Harganya bisa lebih mahal dari pada di Jogja. Kondisi tanah yang
lebih dominan berpasir membuat penanaman sayur menjadi lebih sulit dilakukan.
Jika di Jogja harga sayur bayam di pasar tradisional 1 ikatnya Rp.500 –Rp.1000
di Pulau Belitung tepatnya dipasar tradisional Tanjung Pandan harganya bisa
mencapai Rp.2000 – 2500. Warga Seliu biasanya membeli sayur keluar pulau. Yang
menjadi pertanyaan adalah adakah cara lain untuk melakukan penanaman sayur di
Pulau Seliu sendiri agar masyarakat tidak harus membeli sayur ke luar Pulau?
Pertanyaan
tersebut ternyata bisa dijawab oleh Bapak Marwan. Beliau adalah warga Seliu yang
bisa dikatakan satu-satunya yang serius menanam sayur dan membuat perkebunan.
Bapak Marwan ketika pagi hari adalah salah seorang guru yang mengajar di SD Mambalong, namun ketika sore hari beliau biasanya
berada di kebunnya. Pertama kali berkunjung ke kebun beliau, saya seperti
melihat bentuk nyata game tentang berkebun yakni Harvest Moon. Semua tanamannya
tertata rapi. Lengkap dengan sebuah selokan kecil diantara tanaman yang berisi
air untuk menyiram tanaman. Kebunnya tak begitu luas, kebunnya berisi sayur
bayam, terong, pisang, nanas, mentimun dan beberapa sayur lainnya yang kurang
saya ketahui. Semuanya tumbuh berkelompok satu sama lain dan tertata secara
rapi.
Pak Marwan
menjelaskan ketika panen beliau juga menjual sayurannya ke warga, tapi tentu
saja dengan luas kebunnya yang tidak terlalu luas, hasil produksi sayur Pak
Marwan tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh warga desa. Namun beliau
menyayangkan banyak warga yang memiliki lahan kosong di belakang rumahnya namun
tidak mengembangkan perkebunan sayur. Salah satu alasannya karena warga lebih
terbiasa menjadi nelayan dan penghasilannya sudah cukup untuk membeli sayur.
Namun menanam
sayur bukanlah hanya karena tidak
sanggup mebeli sayur, dengan menanam sayur juga dapat menambah hijau
lingkungan. Selain itu lahan kosong yang tak terpakai sebelumnya bisa
termanfaatkan. Lalu bagaimana peran mahasiswa KKN? Salah satu program TIM
BBL-11 yakni mengembangan perkebunan sayur rumahan. Belajar dari Pak Marwan dan
untungnya ada mahasiswa pertanian di Tim BBL-11, kami mencoba mebuat tanaman
sayur dengan memanfaatkan botol minuman bekas kemudian diisi tanah dan ditaruh
bibit sayur diatasnya.
Dengan sistem
seperti ini, tidak perlu banyak lahan yang diperlukan. Harapan kami yakni
masing-masing rumah bisa memenuhi kebutuhan sayurnya sendiri dan lingkungan
menjadi lebih hijau dan tertata rapi. Apakah program ini akan berhasil? Tentu
saja semua itu memerlukan perjuangan dan waktu yang tidak singkat. Semuanya
bisa dilakukan apabila kita mau berusaha.
Beberapa jam setelah mengunjungi kebun Bapak Marwan untuk pertama kali
– oleh Made Sapta
0 komentar:
Posting Komentar