![]() |
Perjalanan
menuju Pulau Seliu bukanlah perjalanan yang mudah dan cepat dilakukan. Dari
Yogyakarta menuju Pulau Seliu harus ditempuh melalui 3 jalur, yakni jalur
darat, udara dan laut. Mulai dari Yogyakarta menaiki Bus menuju
Bandara Soekarno Hatta. Berangkat jam 1 siang, dan sampai jam 6 pagi di
Bandara. Dan tiket pesawat menuju Bandara Tanjung Pandan adalah jam 10.30. Walhasil menjadi penghuni bandara untuk beberapa jam, dengan tampang kucel setelah
perjalanan jauh menaiki Bus. Ternyata Tim BBL-11 tidak sendiri, cukup mudah
mengenali peserta KKN lain dari UGM. Dibandara ternyata sudah nampak segerombolan
mahasiswa yang menggunakan jaket bertuliskan BBL-02 KKN UGM. Tentu saja kode
BBL sudah bisa ditebak merupakan kepanjangan dari Bangka Belitung. Ada beberapa
unit yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Belitung, dan tentunya cuma ada 1
unit yang KKN di Pulau Seliu.
Tak banyak yang
istimewa dari perjalanan udara kali ini, pesawat Garuda telah menunjukkan
kualitasnya. Take off yang mulus dan pendaratan yang mulus. Sebuah minuman
dingin dan beberapa film Indonesia menemani sepanjang perjalanan di atas
pesawat. Dari bandara Soekarno Hatta, kira-kira memerlukan waktu 45 menit untuk
sampai ke Bandara Tanjung Pandan. Yang menakjubkan ketika sudah mendekati Pulau
Bangka Belitung, yakni kenampakan Pulau Seliu dari atas pesawat, kenampakan
seluruh pulau yang biasanya hanya dapat dilihat dari Google Maps kini dapat dilihat
dengan mata kepala sendiri, tak jauh berbeda dengan Google Maps, tapi tentu ada
sensasi berbeda ketika melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Jika menaiki
pesawat tidak terlalu istimewa, hal yang berbeda terjadi ketika pertama kali
menginjakkan kaki di Pulau Belitung. Cuaca di sana sedikit panas, dari Bandara
menuju Pulau Seliu terlebih dahulu menuju Teluk Gembira untuk kemudian
menyebrang ke Pulau Seliu. Sepanjang perjalanan menuju Teluk Gembira, jalananan
begitu lenggan, nyaris seperti jalan milik pribadi. Sepanjang jalan hanya
ada sedikit rumah dan banyak perkebunan, Masih terlihat hangat suasana Desa
yang akrab dan jauh dari kesan Perkotaan yang penuh dengan Mall. Dan mata akan
begitu takjub ketika sampai di Teluk Gembira, Batu besar sudah terpampang di
pingir laut yang merupakan ciri khas pantai-pantai di Pulau Bangka Belitung.
Perjalanan menyebrang laut dilanjutkan dengan menggunakan kapal nelayan kecil
yang bisa memuat sekitar 40 orang. Untunglah perairan menuju Pulau Seliu,merupakan
perairan Kepualuan yang ombaknya tidak terlalu kencang. Hamparan laut luas
menemani perjalanan kali ini, inilah saatnya pengabdian dan petualangan di
mulai. Sampai di Pulau Seliu, sudah disambut oleh beberapa anak kecil dan
beberapa nelayan lokal yang dengan sigap membantu menurunkan barang bawaan.
Perjalanan
menuju Desa Pulau Seliu kali ini dipandu oleh Bapak Safari, seorang Kaur yang
sangat ramah dan penuh keikhlasan dalam membantu kami. Dengan sigap beliau
menunjukkan rumah yang menjadi tempat tinggal kami 2 bulan kedepan dan turut
serta membersihlannya. Sebuar air dan tepung dicampur aduk, kemudian tiba-tiba
dicipratkan ke tempok-tembok rumah yang akan ditinggali.
“Itu untuk apa
ya Pak?” tanya saya penuh ketidaktahuan. “Ini sudah menjadi ritual disini Mas,
jika ada rumah yang sudah lama tidak ditinggali maka harus dilakukan ritual
seperti ini untuk memohon keselamatan”. Ternyata selain ramah warga asli Pulau
Seliu memegang teguh budaya adat yang sudah ada sejak dahulu. Benar-benar
lokasi yang menarik untuk dijadikan tempat KKN.
Setelah semuanya
beres, malam hari pertama di Seliu sungguh menakjubkan. Makan di pinggir dermaga
ditemani deburan ombak yang tak terlalu “galak” dan pemandangan langit yang
begitu bersih. Beberapa nelayan ada yang
baru pulang dari melaut. Rejeki pun datang, Bapak Edyar selaku kepala Desa,
mengajak kami berkeliling dan langsung memberikan kami beberapa ekor kepiting
untuk dimasak. Enatah kapan terakhir kali makan kepiting semenjak menjadi
mahasiswa.
Belum ada satu
hari di Pulau Seliu, ia telah menunjukkan keramahannnya yang begitu
menakjubkan. Entah keramahan apalagi yang besok akan Seliu tunjukkan. Entahlah,
semuanya akan terjawab setelah menjalaninya.
Dalam kamar dengan lampu redup, bersama Imad dan Faris – oleh Made
Sapta
"Perjalanan ini menjadi indah bukan hanya karena ada ombak yang menghampiri, tapi karena ada kamu yang selalu menemani melewati ombak-ombak penuh kasih ini."
BalasHapusSudah cukup pemanasannya. Saatnya kita mengabdi. Semangat berkontribusi di pulau penuh kenangan ini! :)