Melewati beberapa
malam di Seliu, sudah mulai ada beberapa rutinitas yang selalu hampir
dilakukan. Ketika semua kegiatan sudah selesai dilakukan, kegiatan yang paling
mantap dilakukan yakni duduk-duduk di dermaga, sambil melihat laut dengan
kapal-kapal yang berisi lampu kedap kedip sebagai pertanda lokasi kapal. Tak
jarang sesekali diajak memancing oleh nelayan di pinggir dermaga, memancing cumi menjadi salah
satu kegiatan yang menarik. Sambil memancing, nelayan sangat senang berbagi
kisah melautnya kepada para pendatang seperti mahasiswa UGM yang sedang KKN
yang sebagian besar bahkan hampir semuanya tidak pernah melaut.
Nelayan di Pulau
Seliu biasanya berangkat melaut subuh sekitar jam 4 dini hari dan pulang
sekitar jam 12 siang. Namun ada juga yang melaut dengan jarak yang lebih jauh, dan
biasanya membutuhkan waktu 5 hari perjalanan. Ada kisah menarik dari perjalanan
nelayan di Pulau Seliu, ternyata tak jarang para nelayan bertemu dengan bajak
laut yang menginginkan hasil laut para nelayan. Ada 2 jenis bajak laut yang biasa ditemui para nelayan, pertama bajak laut yang "sadis" kedua bajak laut yang sedikit lebih baik dari "sadis", dan bajak laut yang masih sedikit lebih
baik dari “sadis”. Apa perbedaan keduanya? Dari penjelasan nelayan, bajak laut
yang sedikit lebih baik dari sadis biasanya menginginkan hasil tangkapan
nelayan dengan cara membeli. Lalu dimana letak sadisnya? Bajak laut membeli
hasil tangkapan nelayan dengan membawa senjata api laras panjang dan meminta
setengah harga atau bahkan kurang dari setengah harga. Kalau sudah
begini tentu saja nelayan akan merugi, jika lebih beruntung, kadang bajak laut
tidak jadi membajak apabila diketahuinya nelayan yang di bajak berasal dari 1 suku. Bagaimana
cara mengetahui 1 suku atau tidak? Gampang, cukup dengan mendengarkan logatnya saat berbicara.
Untuk yang ini sebaiknya saya tidak sebutkan nama sukunya. Lalu bagaimana
dengan bajak laut yang tergolong sadis? Kalau yang sadis tidak ada penawaran,
bajak laut bisa langsung mengancam nelayan dengan senjata api dan meminta hasil
tangkapannya secara cuma-cuma. Bahkan jika lebih sial, mesin kapal nelayan juga
bisa dipreteli oleh bajak laut, kalau sudah begini nelayan akan merugi, selain itu juga mereka akan sulit untuk pulang.
Cerita seperti
ini menegaskan kembali, memang cukup keras kehidupan di laut. Kejadian seperti ini baru saya temui di Pulau Seliu, saya kurang tau apakah nelayan di daerah lain juga mengalami nasip yang serupa, tapi kemungkinan besar mereka juuga mengalami hal yang sama. Namun sekeras-kerasnya kehidupan
nelayan, Nelayan di Pulau Seliu tetaplah merupakan nelayan yang ramah dan baik
hati. Nelayan yang dengan mudahnya memberikan kepiting hasil tangkapannya
begitu saja kepada kami yang baru KKN di Pulau Seliu. Nelayan yang selalu
senang berkelakar di dermaga dimalam hari dan menceritakan kisah seru
melautnya. Nelayan yang dengan mudah memberikan pancingannya dan mengajarkan
cara memancing cumi di pinngir dermaga. Semua itu akan menjadi kenangan yang
indah, dan pelajaran “kelautan” yang tidak mungkin di dapat dibangku kuliah.
Pada suatu malam di Pulau Seliu saat menunggu jadwal piket masak sahur –
oleh Made Sapta
0 komentar:
Posting Komentar