Kami masih malu-malu waktu itu, ketika bu Ros mendatangi rumah
belakang kami dan menawarkan sejumlah ikan. “Bagaimana? Jadi kamu mau ikan ini
tak? Suranya lantang dengan nada akrab sambil menunjukkan ikan mentah di dalam
sebuah wadah besar. Kami sempat terbengong sesaat, dalam hati kami kebingungan,
hendak dimasak apa ikan-ikan yang diberikan Bu Ros ini. Kami tidak memiliki
ilmu khusus untuk memasak, hanya ada peralatan terbatas dengan rempah-rempah
yang tidak lengkap pula. Saat itu kami masih beberapa hari menjadi penghuni
pulau seliu, masih sering mengonsumsi bekal abon dan kering tempe yang kami
bawa dari Jogja. Beruntung, ternyata bu Ros memberi kami ikan matang lengkap
dengan bumbu yang sedap.
Salah satu pondokan kami adalah rumah dinas yang sudah tak terpakai
selama dua tahun, memiliki satu kamar
yang bisa digunakan, satu dapur, satu kamar mandi, satu ruang makan dan ruang tamu yang disulap menjadi tempat
tidur . Tepat di samping kanan pondokan kami adalah kantor kepala desa,
sedangkan di depan pondokan ada rumah pendidikan alqur’an yang sudah
bertahun-tahun mangkrak tak digunakan, polindes yang hanya dihuni seorang bidan
selama 3 hari dalam seminggu dan rumah kecil tempat berkumpul anak-anak muda.
Belakang pondokan kami adalah halaman luas, pertemuan antara halaman-halaman
beberapa rumah. Bu Ros tinggal dekat dengan pondokan kami. Rumah beliau berada
disamping kiri, selisih 1 rumah dari
pondokan. Rumah sederhana dengan empat penghuni ini , menjadi saksi bahwa
betapa kami banyak berhutang budi kepada Bu Ros.
Suara lantang, logat kental khas daerah seliu, tubuh besar dan wajah
bulat yang ayu, orang ini lah yang pertama kali merelakan rumahnya untuk kami
ganggu. Bu Ros, orang pertama yang menawarkan kamar mandinya untuk kami. Ketika
itu kami harus saling mengantri sebanyak delapan belas orang untuk mandi di kamar
mandi, dan dua belas orang untuk mandi di masjid. Betapa tersiksanya saat sudah
tidak tahan buang air kecil sedangkan kamar mandi masih penuh. Bu Ros membuka
pintu rumahnya lebar-lebar untuk kami mencari bantuan.
Bu Ros dan Suaminya, Pak Fadla, seperti orang tua kami disini. Saat
harus merayakan Idul Fitri jauh dari kampung halaman, tak bisa berkumpul
bersama keluarga, tak bisa merasakan ketupat seperti biasa. Bu Ros dan Pak
Fadla mengajak kami membuat ketupat bersama-sama yang disajikan lengkap dengan
opor ayam. Mereka membuatkan tekwan, membuatkan pempek dan mengundang kami
untuk beramai-ramai makan di rumahnya. Menikmati makanan yang disuguhkan dengan
romantisme Bu Ros dan Pak Fadla adalah kesempatan istimewa yang kami dapatkan
di sini. Keluarga sederhana ini begitu ikhlas membagi keharmonisan mereka
kepada kami, anak-anak pendatang yang malah sering merepotkan.
Kami masih sering meminta bantuan Bu Ros, termasuk meminta beliau
memasakkan makanan untuk kami bertiga puluh, dua kali makan dalam sehari. Bak
koki profesional, beliau membuatkan kami rupa-rupa masakan. Mulai dari gangan
ikan khas Belitung, kepiting saus kecap yang resepnya beliau dapatkan dari koki
Singapura, nasi kuning dan masakan
lainnya. Bu Ros tidak pernah sedikitpun menolak kami. Jika ada acara penting
yang mengharuskan kami semua datang pada jadwal yang bersamaan, Bu Ros membuka
pintu rumah sejak shubuh agar kami bisa mandi bergantian dan tak terlambat.
Bahkan menawarkan rumah orang tua beliau agar kami tidak terlalu panjang
mengantri. Sesekali kami membantu beliau di dapur sambil bercanda dengan anak
bungsunya yang masih kelas satu SD. Sesekali juga kami menyempatkan diri
berkelekar bersama beliau dan keluarga di teras rumahnya. Kami saling
bercerita, diselipi petuah bijak dari Pak Fadla.
Bu Ros memperlakukan kami seperti anaknya sendiri, apalagi saat ada
beberapa dari kami yang sakit. Beliau menyiapkan kompres yang diramu dari daun
kapuk dan air, turut mengompres dahi kami ketika malam . Beliau juga membuatkan
bubur khusus untuk kami, menyiapkan tempat tidur dan menjaga kami agar tetap
tidur tenang dan hangat saat sakit. Maklum masing-masing pondokan kami berisi
delapan belas dan duabelas orang yang
rasanya sulit jika tidak ramai. Rumah Bu Ros yang sederhana penuh dengan
kenyamanan. Dapurnya yang mini penuh keceriaan, ruang keluarga yang teduh dan
tenang, ruang tamu yang hangat, dan hati pemiliknya yang lapang mampu menampung
kami yang berdatangan meminta bantuan.
Dengan sedikit cucuran keringat di kening beliau memberikan senyuman
ikhlasnya untuk kami. Senyuman yang tak akan pernah kami lupakan dari ibu kami
di Pulau sejuta kisah ini . Terima kasih Bu Ros, jasamu bagai namamu, bunga Ros
yang mekar di padang ilalang penuh hujan dengan angin lembut dari pulau sejuta
ikan.
Oleh Choiri Khumaidah Fikriyah
0 komentar:
Posting Komentar