Masih tentang
Pulau Seliu. Pulau kecil dengan komposisi masyarakat yang kompleks. Tak hanya
penduduk asli keturunan nenek moyang Seliu, pulau ini juga dihuni penduduk
pendatang yang berasal dari berbagai daerah. Mayoritas masyarakat Seliu bersuku
Melayu. Bahasa yang digunakan sehari-haripun juga berbau ala tokoh Ipin-Upin
yang biasanya saya dengar di televisi. Kali
ini saya ingin bercerita tentang anak-anak yang ada di pulau kecil ini. Begitu
banyak anak-anak yang ada di Pulau ini, dan tentunya tidak mungkin saya
sebutkan satu persatu.
Rambut khas
warna merah matahari, badan yang terlapis
kulit coklat eksotis, mata bulat yang selalu berbinar dengan tatapan
polos, senyuman yang ikhlas dan tawa yang lepas. Itulah beberapa hal persamaan
dari mereka semua. Masa kecil mereka
penuh dengan kegembiraan dan keceriaan yang terbungkus dalam kesederhanaan.
Konsep kebahagiaan yang mewah, nyata dan bermakna bagi saya. Dari sekian banyak
hal yang saya temukan ada satu hal yang membuat saya iri dari mereka, yaitu
semangat. Semangat mereka untuk belajar dan mengaji. Itu semua terlihat jelas
sejak kali pertama kami, Tim KKN UGM 2015 unit BBL11 tiba di tanah ini. Riuhnya
ajakan mereka untuk membaca, mengambar dan mengaji bersama selalu menyapa saat
pagi siang dan bahkan malam ketika selesai melaksanakan sholat tarawih.
Satu pekan
terlewati, ada suatu kejadian yang sangat berkesan bagi saya. Suatu ketika,
saat saya dan beberapa teman lainnya berkumpul di perpus Desa bersama anak-anak
Desa Pulau Seliu, saya bercerita tentang segala hal tentang peradapan perkotaan. Fasilitas yang
lengkap, kemewahan dunia perkotaan, kehidupan maju di Pulau jawa saya ceritakan
secara detail kepada “malaikat-malaikat
kecil” Seliu ini. Pada akhir cerita, saya bertanya kepada seorang bocah
berumur 9 tahun, "Bagaimana? Lebih
enak tinggal di kota kan? Makanya besok kamu kalau udah besar sekolah di Jawa,
biar tau Jawa itu seperti apa." Saya kira cerita saya akan menginspirasi
dan saya akan mendengar jawaban: "Ya, Kak". Tapi ternyata tidak,
justru saya terkaget dengan respon yang ada. "Nak boleh kite banding
bandingkan tempat tinggal kite. Disana bumi, disini kita juga di bumi. Semuanya
same, tak ada yang perlu dibandingkan lagi."
Sepersekian
detik saya kaget dengan ucapan bocah ini. Terlintas ucapan seseorang di pikiran
saya, ucapan tersebut yakni ucapan Bapak Endat Sofyan seorang mentor “kehidupan”
yang sempat menginspirasi saya, beliau pernah berkata: "Disini tanah
Tuhan, disana tanah Tuhan. Lalu apalagi yang kau takutkan?". Perasaan campur aduk yang tidak bisa terjelaskan
lagi dengan kata-kata. Malu dan tersadar pada waktu yang bersamaan. Serasa
teringat tentang akan sesuatu penting yang terlupakan. Bersyukur.
Walaupun agak
sedikit memalukan, penting untuk diakui semenjak berada disini, saya kurang
bersyukur. Saya mengeluh dengan kawasan yang sulit untuk mendapatkan sinyal handphone, sengatan matahari daerah
katulistiwa, debu dimana-mana, air payau yang saya rasa sangat aneh, dan
lain-lain. Betapa malunya saya saat ini kalah dengan seorang bocah berumur 9
tahun. Kalah memaknai arti kata hidup untuk bersyukur di kehidupan sebenarnya.
Dari sini, dari Pulau Seliu, saya
belajar sesuatu dari malaikat-malaikat kecil ini. Belajar tentang bersyukur.
Belajar tersenyum dan tertawa lepas karena bersyukur atas nikmat-Nya yang masih
bisa dirasakan bukan hanya karena kebahagiaan semata.
Terimakasih Malaikat Kecil oleh Dida KHF
Good job dida,
BalasHapus