Nenek baru sampai sore tadi. Diantar berbonceng tiga menggunakan
motor. Dari Tanjung memang menggunakan ambulance,
tapi sampai Teluk Gembira, nenek diberi tempat yang sama dengan penumpang
lainnya. Kondisinya yang sudah koma sejak tiga hari lalu membuatnya harus
ditidurkan ketika berada di dalam kapal.
Sempat kerepotan pula tadi mengangkat tubuh nenek yang sudah tak
berdaya berpindah dari dermaga ke kapal dan sebaliknya. Air laut yang belum
berada di pasang tertinggi mengakibatkan jarak antara kayu dermaga dan kapal
cukup tinggi sehingga perlu beberapa orang untuk memindahkan nenek.
Begitu kira-kira cerita yang dapat saya ringkas ketika malam saya
bersama teman-teman KKN yang lain berkunjung untuk menjenguk Nenek Saleh, istri
dari Kek Saleh, kepala adat Desa Pulau Seliu. Kondisi nenek sangat
memprihatinkan. Ditidurkan di lantai tengah ruang tamu dengan beralaskan kasur
dan beberapa bantal mengelilingi lengkap dengan kain sebagai penghangat tubuh
nenek.
Alasan dipulangkannya nenek sebelum tiba kesembuhannya karena pihak
rumah sakit telah angkat tangan dengan kondisi yang diderita oleh nenek.
Keputusan yang diambil adalah dengan memulangkan pasien tanpa diberikan
“perbekalan” apapun.
Dari rangkaian cerita yang telah dituturkan oleh salah seorang kerabat
tadi, yang paling membuat saya sedih adalah ketika membayangkan nenek yang
sudah tidak sadarkan diri tersebut dipaksa duduk dipangku berbonceng tiga
menggunakan motor.
Di Pulau Seliu, hampir tidak pernah akan kita temui kendaraan roda
empat. Kendaraan yang tersedia adalah truk dan pick up yang digunakan untuk bolak balik keluar masuk hutan
mengangkut kayu dan pasir. Sesekali “mobil” tersebut juga mengakut rombongan
warga yang hendak berlibur ke pantai.
Dahulu, menurut cerita, alat transportasi khas dan tertua di Pulau Seliu
adalah liu liu. Liu-liu merupakan alat transportasi sejenis gerobak yang
berfungsi sebagai pengangkut hasil kebun. Kini, seiring majunya teknologi,
ternyata kondisi fasilitas khususnya trasportasi di Pulau Seliu tidak
berkembang sepesat seperti kita yang berada di kota.
Setidaknya, kesadaran untuk menyediakan satu mobil demi memenuhi
kebutuhan darurat saja belum ada. Sebaran pemukiman yang cukup luas,
mengakibatkan sulitnya mobilitas warga ketika terjadi situasi mendadak yang
tidak diinginkan, misalnya ada warga yang sakit harus segera diantar ke dermaga
demi menyelamatkan nyawanya, serta jika ada warga yang kesulitan dalam berpindah
dari satu titik di Pulau Seliu ke titik lainnya ketika diburu waktu.
Miris memang merasakan keterbatasan transportasi tersebut. Seperti
halnya saat melihat keadaan yang dialami oleh nenek. Jika setidaknya ada satu
mobil di pulau ini yang layak dan disediakan untuk kebutuhan bersama, maka
nenek tidak perlu dibonceng menggunakan motor dengan kondisi yang telah
diceritakan tadi.
Seandainya potensi-potensi yang seliu miliki dapat diangkat guna
meningkatkan kualitas penduduknya. Seandainya ada perhatian lebih dari kaum
yang mumpuni untuk membangun Seliu. Seandainya semua bekerjasama untuk
memanfaatkan kekayaan Seliu untuk memperbaiki taraf hidup mereka, dan
seandainya yang berwenang menjalankan kewajibannya dengan benar sehingga
fasilitas yang tersedia menjadi lebih layak, maka kehidupan di Desa Pulau Seliu
akan bisa lebih maju lagi.
Dan akhir tulisan ini ditutup dengan berita yang saya dapat sehari
setelah kepulangan Nenek ke Pulau, Nenek menginggal dunia dengan tenang ketika
sore, dua malam setelah koma di kediamannya berjuang melawan penyakit.
Semoga nenek merupakan korban terakhir kurangnya fasilitas di Pulau
Seliu. Semoga potensi-potensi yang diimiliki di Pulau Selui sepeti sektor
pariwisata dapat mengangkat perekonomian serta kesadaran tiap penududuknya untuk
lebih perduli dengan fasilitas yang mereka butuhkan.
Oleh Fauzia Nur Hanifah
0 komentar:
Posting Komentar