Rabu, 01 Juli 2015

Kelakar Yang Menimbulkan “Masalah”

Posted By: Pulau Seliu - 11.13

Share

& Comment


Pagi ini merupakan hari ke dua berada di Pulau Seliu. Sehebat-hebatnya menyusun program KKN tentunya akan mubasir jika warga Seliu tidak tertarik atau tidak terlalu antusias dengan program yang dibuat. Perlu pendekatan khusus untuk bisa mendekati warga desa, bagaimana caranya? Nongkrong bareng atau duduk sambil minum kopi sambil berkelakar merupakan solusi terbaik menyampaikan ide-ide KKN agar diketahui warga Desa.
Pagi tadi saya dan beberapa rekan KKN memutuskan untuk berkeliling mengitari kampung, selain untuk mengenal seluruh Desa, tentunya juga untuk mendekatkan diri dengan warga. Wilayah Desa yang bisa dikelilingi dalam waktu 1 hari cukup dilakukan dengan berjalan kaki. Warga yang ramah membuat sosialisasi tidak terlalu susah dilakukan. Dipandu oleh bolang asli Desa Seliu, petualangan pagi ini segera dimulai.
“Sini dek, mampir dulu lah, kite berkelakar dulu”, dengan nada Upin Ipin, Bapak Saleh, kepala Adat memanggil kami. Pak Saleh yang usianya sudah tidak muda lagi, namun masih memiliki semangat muda menjelaskan Desa Seliu dengan nada khas melayunya. Beliau menjelaskan warga di Pulau Seliu kebanyakan menggunakan bahasa khas melayu, walau begitu ada juga  warga dari luar Seliu seperti Jawa yang sudah lama tinggal dan menetap di Desa Pulau Seliu yang menggunakan bahasa Indonesia. Pak Saleh juga menjelaskan rute berkeliling Desa yang mudah ditempuh, maklum diluar Desa adalah hutan yang sepertinya untuk saat ini tidak disurvei terlebih dahulu. Setelah berkelakar cukup lama dengan Bapak Saleh, waktunya melanjutkan ke destinasi berikutnya. Tujuan berikutnya yakni lapangan bola Desa Seliu, yang di bagian utaranya terdapat Kincir Angin pembangkit listrik yang sudah lama tidak beroprasi. Kincir Angin di Seliu sekilas mirip dengan Kincir Angin yang sering diupload oleh Ricky Elson, peneliti muda yang saat ini mengembangkan Kincir Angin di Ciheras. Kincir Angin di Seliu sudah tidak beroprasi lagi, hal ini dikarenakan faktor alam yang seperti cuaca yang membuat Kicir mudah rusak dan kemampuan warga yang masih belum begitu paham terkait hal teknis untuk memperbaiki kincir angin jika terjadi kerusahakan. Inilah salah satu tantangan mahasiswa disini, mungkinkah untuk membangkitkan kincir angin ini lagi? Atau sebaiknya ditinggalkan saja karena tidak efisien? Perlu pengkajian lebih lanjut lagi untuk menjawab pertanyaan tersebut beberapa hari kedepan ini. Masih banyak lokasi desa yang harus dikunjungi, masih tetap bersama bolang Seliu, perjalanan pun dilanjutkan. Belum beberapa menit berjalan, sudah terlihat 2 orang Ibu-ibu yang asik memukul biji-bijian hingga menjadi pipih, ini saatnya memulai obrolan dan berkelakar dengan Ibu-Ibu. Biji-bijian tersebut ternyata melinjo yang dibuat menjadi emping. Membuat emping merupakan salah satu pekerjaan sampingan warga Desa Seliu selain menjadi nelayan. Empingnya digeprek hingga tipis-tipis, lalu dijemur. Yang mengejutkan harga emping ini 1 kgnya kurang lebih Rp.50.000. Dengan ukurannya yang sangat tipis, berapa buah emping yang dibutuhkan untuk membuatnya menjadi 1 kg? Tentunya cukup banyak dan perlu waktu seharian untuk mengolahnya, dan hasil penjualannya 1kg Rp.50.000, sepertinya perlu trobosan baru dalam penjualan emping ini. Masih perlu dipikirkan lagi bagaimana kemasana yang baik untuk emping ini.
Diseberang rumah Ibu tukang emping, sudah terlihat sibuk seorang Bapak-bapak membuat Batako dari pasir yang ada dihalaman rumahnya. Beliau adalah Bapak Sumi yang membuat batako dari pasir pantai yang memang ada dihalaman rumanhnya. Kali ini jangan tanya berapa harga batakonya, karena batakonya tidak dijual. “Dari UGM ya Mas?” sambut Pak Sumi dengan ramah. Nama UGM memang bisa cukup membantu, dengan cukup mengatakan iya, tidak perlu lagi menjelaskna UGM itu apa dan dimana. Berteduh dibawah pohon manga beliau dengan cekatan membentuk batako-batako dengan 2 tangannya yang kekar. Hampir semua rumah di Desa Seliu memiliki pohon manga, kali ini Pak Sumi yang menjelaskan prihal mangga  Seliu. Kalau saat musimnya, mangga di Seliu sangat murah, bisa Rp.2000 per kg. Tidak banyak pengolahan dilakukan oleh warga ketika musim mangga datang, bahkan terkadang menjadi mubazir karena terlalu banyak. Yang ini sepertinya perlu trobosan baru lagi. Setelah lama berbincang-bincang dengan Bapak Sumi, perjalanan dilanjutkan kembali. Bagian desa lainnya kenampakanya masih sama, pohon mangga dimana-mana, beberapa warga sibuk menggeprek melinjo, dan didepan rumah biasanya berisi jaring nelayan yang digunakan untuk mencari ikan.
Ada beberapa permasalahn lagi yang ada di Desa Pulau Seliu, berdikusi dan berkelakar dengan warga desa terasa menyenangkan, pendekatan bisa dilakukan dan permasalahan di Desapun satu per satu menjadi lebih jelas apa permasalahannya dan apa yang dibutuhkan.
Dan malam hari ini pun ditutup dengan berkelakar bersama pemuda Desa Seliu, kali ini bukan untuk mencari permasalahan yang dihadapi para pemuda, melainkan hanya untuk mengakrabkan diri satu sama lain dan menghibur diri dengan bermain gaplek.
Saat bermain gaplek


Usai bermain gaplek dengan Pemuda Desa – oleh Made Sapta



About Pulau Seliu

Sebuah portal yang mengenalkan salah satu khasanah Kekayaan Wisata Indonesia yang berada di pulau belitung, Pulau Seliu adalah sebuah pulau kecil yang berada di Selatan Belitung dengan segala keindahan alam dan kearifan lokalnya

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2013 Seliu Island™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.