Pagi ini
merupakan hari ke dua berada di Pulau Seliu. Sehebat-hebatnya menyusun program
KKN tentunya akan mubasir jika warga Seliu tidak tertarik atau tidak terlalu
antusias dengan program yang dibuat. Perlu pendekatan khusus untuk bisa
mendekati warga desa, bagaimana caranya? Nongkrong
bareng atau duduk sambil minum kopi sambil berkelakar merupakan solusi terbaik
menyampaikan ide-ide KKN agar diketahui warga Desa.
Pagi tadi saya
dan beberapa rekan KKN memutuskan untuk berkeliling mengitari kampung, selain
untuk mengenal seluruh Desa, tentunya juga untuk mendekatkan diri dengan warga.
Wilayah Desa yang bisa dikelilingi dalam waktu 1 hari cukup dilakukan dengan
berjalan kaki. Warga yang ramah membuat sosialisasi tidak terlalu susah
dilakukan. Dipandu oleh bolang asli
Desa Seliu, petualangan pagi ini segera dimulai.
“Sini dek,
mampir dulu lah, kite berkelakar dulu”, dengan nada Upin Ipin, Bapak Saleh,
kepala Adat memanggil kami. Pak Saleh yang usianya sudah tidak muda lagi, namun
masih memiliki semangat muda menjelaskan Desa Seliu dengan nada khas melayunya.
Beliau menjelaskan warga di Pulau Seliu kebanyakan menggunakan bahasa khas melayu,
walau begitu ada juga warga dari luar
Seliu seperti Jawa yang sudah lama tinggal dan menetap di Desa Pulau Seliu yang
menggunakan bahasa Indonesia. Pak Saleh juga menjelaskan rute berkeliling Desa
yang mudah ditempuh, maklum diluar Desa adalah hutan yang sepertinya untuk saat
ini tidak disurvei terlebih dahulu. Setelah berkelakar cukup lama dengan Bapak
Saleh, waktunya melanjutkan ke destinasi berikutnya. Tujuan berikutnya yakni
lapangan bola Desa Seliu, yang di bagian utaranya terdapat Kincir Angin
pembangkit listrik yang sudah lama tidak beroprasi. Kincir Angin di Seliu
sekilas mirip dengan Kincir Angin yang sering diupload oleh Ricky Elson,
peneliti muda yang saat ini mengembangkan Kincir Angin di Ciheras. Kincir Angin
di Seliu sudah tidak beroprasi lagi, hal ini dikarenakan faktor alam yang
seperti cuaca yang membuat Kicir mudah rusak dan kemampuan warga yang masih
belum begitu paham terkait hal teknis untuk memperbaiki kincir angin
jika terjadi kerusahakan. Inilah salah satu tantangan mahasiswa disini,
mungkinkah untuk membangkitkan kincir angin ini lagi? Atau sebaiknya ditinggalkan
saja karena tidak efisien? Perlu pengkajian lebih lanjut lagi untuk menjawab
pertanyaan tersebut beberapa hari kedepan ini. Masih banyak lokasi desa yang
harus dikunjungi, masih tetap bersama bolang Seliu, perjalanan pun dilanjutkan. Belum beberapa menit berjalan, sudah terlihat 2 orang Ibu-ibu yang asik memukul
biji-bijian hingga menjadi pipih, ini saatnya memulai obrolan dan berkelakar
dengan Ibu-Ibu. Biji-bijian tersebut ternyata melinjo yang dibuat menjadi
emping. Membuat emping merupakan salah satu pekerjaan sampingan warga Desa
Seliu selain menjadi nelayan. Empingnya digeprek hingga tipis-tipis, lalu
dijemur. Yang mengejutkan harga emping ini 1 kgnya kurang lebih Rp.50.000.
Dengan ukurannya yang sangat tipis, berapa buah emping yang dibutuhkan untuk
membuatnya menjadi 1 kg? Tentunya cukup banyak dan perlu waktu seharian untuk
mengolahnya, dan hasil penjualannya 1kg Rp.50.000, sepertinya perlu trobosan
baru dalam penjualan emping ini. Masih perlu dipikirkan lagi bagaimana kemasana
yang baik untuk emping ini.
Diseberang rumah
Ibu tukang emping, sudah terlihat sibuk seorang Bapak-bapak membuat Batako dari
pasir yang ada dihalaman rumahnya. Beliau adalah Bapak Sumi yang membuat batako
dari pasir pantai yang memang ada dihalaman rumanhnya. Kali ini jangan tanya
berapa harga batakonya, karena batakonya tidak dijual. “Dari UGM ya Mas?”
sambut Pak Sumi dengan ramah. Nama UGM memang bisa cukup membantu, dengan cukup
mengatakan iya, tidak perlu lagi menjelaskna UGM itu apa dan dimana. Berteduh
dibawah pohon manga beliau dengan cekatan membentuk batako-batako dengan 2
tangannya yang kekar. Hampir semua rumah di Desa Seliu memiliki pohon manga,
kali ini Pak Sumi yang menjelaskan prihal mangga Seliu. Kalau saat musimnya, mangga di Seliu
sangat murah, bisa Rp.2000 per kg. Tidak banyak pengolahan dilakukan oleh warga
ketika musim mangga datang, bahkan terkadang menjadi mubazir karena terlalu
banyak. Yang ini sepertinya perlu trobosan baru lagi. Setelah lama
berbincang-bincang dengan Bapak Sumi, perjalanan dilanjutkan kembali. Bagian
desa lainnya kenampakanya masih sama, pohon mangga dimana-mana, beberapa warga
sibuk menggeprek melinjo, dan didepan rumah biasanya berisi jaring nelayan
yang digunakan untuk mencari ikan.
Ada beberapa
permasalahn lagi yang ada di Desa Pulau Seliu, berdikusi dan berkelakar dengan
warga desa terasa menyenangkan, pendekatan bisa dilakukan dan permasalahan di
Desapun satu per satu menjadi lebih jelas apa permasalahannya dan apa yang
dibutuhkan.
Dan malam hari
ini pun ditutup dengan berkelakar bersama pemuda Desa Seliu, kali ini bukan
untuk mencari permasalahan yang dihadapi para pemuda, melainkan hanya untuk
mengakrabkan diri satu sama lain dan menghibur diri dengan bermain gaplek.
Usai bermain gaplek dengan Pemuda Desa – oleh Made Sapta
0 komentar:
Posting Komentar