Pagi itu,
seperti biasanya matahari pagi di Pulau Seliu selalu tersenyum menyambut anak
anak KKN yang akan menjalani programnya masing-masing. Salah satunya aku. Di
bawah langit biru itu, langkah demi langkah ku jalani diiringi dengan senyuman
dan sapaan dari orang tua yang bersemangat mengantarkan anak-anaknya pergi ke
sekolah di tahun ajaran baru. Tak kalah dengan bunyi knalpot motor, kayuhan
sepeda adik-adik dan seragam baru juga menemani jalan ku pada pagi itu.
“Kakak...” ya begitulah biasanya mereka memanggil ku setiap harinya. Aku hanya
bisa membalasnya dengan “halooo, selamat pagi!”.
Yap,
akhirnya aku tiba di SD N 28 Membalong dengan keringat yang mengalir dan lutut
yang sedikit gontai. Hmmm, mungkin aku kurang olahraga, jalan kaki sebentar
saja sudah lelah atau aku kurang piknik. Lalu ku lewati koridor itu dengan
tempo selambat-lambatnya karena aku harus menghadapi tatapan-tatapan heran dan
bertanya-tanya dari adik adik berseragam merah putih ini. “Siapa kakak ini?”
atau “Mau ngapain kakak ini datang ke sini?” atau “Kakak ini mau ngajar kelas
berapa ya?” ya aku harap pertanyaan ketiga yang ada di dalam benak mereka pada
saat itu. Ku masuki ruang guru dengan perasaan gugup. Seketika perasaan gugup
itu hilang karena melihat para guru menatap ku dengan senyuman hangat, I felt like I was in home and met my parent.
Salah
satu guru mengantarkan ku ke dalam kelas , Bu Sulis. Bu Sulis ini adalah
seorang wanita paruh baya yang rumahnya berada di dekat pondokan di mana
anak-anak KKN tinggal. Beliau yang dengan senang hati mempersilahkan kami,
anak-anak KKN untuk mandi di rumahnya agar kami tetap bisa merasakan mandi
dengan air bersih. Beliau juga sering kali dengan murah hati menjamu kami untuk
makan di rumahnya, salah satunya adalah Mie Belitung, terima kasih Bu.
“Halo,
selamat pagi…”, ku sapa mereka dengan hangat. “Selamat pagi kak…”, jawab mereka
dengan antusias. Aku memutuskan untuk tidak langsung memulai pelajaran, ku coba
untuk mengenal 10 siswa-siswi itu lebih dekat. Dimulai dengan perkenalan,
alamat rumahnya di mana dan mereka dengan ramahnya juga menawarkan aku untuk
singgah ke rumahnya suatu waktu nanti hingga akhirnya pagi itu kami tertawa
bersama karena candaan-candaan konyol yang dibuat oleh salah satu diantara
mereka.
Mendengar
tawa mereka yang hangat dan bersahabat, aku merasa bahagia, merasa sudah mulai
diterima di kelas itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya . Ku tanamkan dalam
hati ini, aku datang ke kelas itu untuk memberikan ilmu, pengetahuan,
pengalaman yang aku punya dan belajar dari mereka, belajar tentang apapun itu.
Ku
lihat di sekeliling ruangan itu, tak ada peta Indonesia hanya ada globe yang
sudah berdebu di dekat lemari di pojok ruangan. Ya, pagi itu aku mau berbagi
pengetahuan mengenai peta Indonesia dan tempat wisata yang dimiliki oleh
Indonesia. Aku gunakan globe yang ada untuk menjelaskan di mana posisi
Indonesia dan gambar peta Indonesia yang ada di laptop ku untuk menjelaskan
mengenai letak-letak provinsi yang ada di Indonesia. Tiba-tiba ada salah satu
celetukan dari mereka, “Kak di mane Pulau Seliu?”, belum sempat aku menjawab,
salah satu dari mereka yang telah menjawab pertanyaan itu, “Ti, Pulau Seliu dak
nampak di peta, kan pulau kite ni kecik, ya kan Kak?” Ya, Pulau Seliu ini
termasuk salah satu pulau kecil yang dimiliki oleh Indonesia, karena luas pulau
ini hanya berkisar lebih kurang 1.645 Ha dan tidak terlihat dengan jelas pada
gambar peta Indonesia dengan skala kecil.
Setelah itu, ku
paparkan foto-foto tempat wisata yang dimiliki oleh Indonesia. Dari
tempat-tempat bersejarah peninggalan tsunami di Aceh hingga Raja Ampat di
Papua, ku lihat tatapan kagum yang terpancar dari mata mereka, seakan-akan
tatapan tidak percaya selain pantai-pantai yang indah di Pulau Seliu, Indonesia
masih memiliki banyak tempat-tempat indah yang harus mereka kunjungi suatu hari
nanti. Tapi, ada satu tempat yang menjadi perhatian mereka yaitu, Danau Labuan
Cermin di Kalimantan Timur. “Ti! Kak alangke jernih aek itu kak, pacak bekace
kite di sana?” mungkin dilihat dari kata cermin yang biasa digunakan untuk
berkaca atau emang kita bisa berkaca karena saking jernihnya air di Danau
Labuan Cermin itu, aku juga tidak tahu karena aku belum pernah menginjakkan
kaki di Pulau Borneo itu. “Aku nak mandi di sana kak, aeknya bersih” ucap salah
satu di antara mereka. “Ti! Aek di rumah ku mirah kak” timpal yang lain. Hmm,
sebenarnya di desa ini sudah ada aliran air bersih dari PAM akan tetapi tidak
semua rumah di dusun 1 dan dusun 2 yang mempunyai water meter. Bagi mereka yang tidak memiliki aliran air PAM, mereka
membuat sumur bor tersendiri dan menghasilkan air yang tidak terlalu jernih dan
memiliki rasa campuran antara air tawar dan air asin, biasa dikenal dengan air
payau. Bagi mereka yang tidak mempunyai keduanya, mereka tetap menggunakan aek
mirah atau biasa kita menyebutnya air keruh.
Mendengar
celotehan-celotehan mereka tentang air bersih, sontak aku teringat kehidupan
orang-orang di kota. Bunyi mesin air yang meraung-meraung, air dari kran yang
mengalir seolah-olah tak pernah mengenal rasa lelah dan bak mandi yang tak bisa
berkata apa-apa ketika dia sudah tidak bisa menampung aliran air itu lagi.
Pastinya mereka bersyukur atas limpahan air bersih itu, akan tetapi, mungkin
saja mereka hanya lupa bagaimana cara mensyukuri nikmat dari Tuhan tersebut.
Lupa bagaimana caranya menggunakan air bersih dengan baik dan bijak. Lupa jika
di luar sana masih banyak orang-orang yang ingin bersahabat dengan air bersih
setiap harinya.
Pagi
itu, aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari mereka yang mungkin
bukan hanya aku yang sering kali lupa cara bersyukur dan mensyukuri nikmat dari
Tuhan. Because, the key for a happiness
is when you thankful for the grace that God has given to you. Harapan ku,
semoga suatu hari nanti kalian bisa pergi ke belahan dunia lainnya dan
menemukan tempat-tempat indah karunia dari Tuhan. Terima kasih dik.
Oleh
Ria Putri
0 komentar:
Posting Komentar